Pariwisata Hijau Jadi Arah Baru Industri Wisata Indonesia
Pariwisata Indonesia kini bergerak menuju era baru yang menuntut keseimbangan antara keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi
HOTEL & VENUEEXHIBITION & CONFERENCEAUDIENSI
Rani
10/31/20254 min baca


Jakarta, 30 Oktober 2025 — Sektor pariwisata Indonesia tengah bergerak menuju arah yang lebih berkelanjutan. Melalui inisiatif “Lestari Lewat Wisata”, para pelaku industri dari berbagai lini sepakat bahwa keberlanjutan bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan industri ini tetap tumbuh tanpa mengorbankan alam, budaya, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Hal itu mengemuka dalam seminar Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2026 di Artotel Harmoni, Jakarta, Rabu (29/10/2025). Acara yang diselengarakan oleh Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Forwaparekraf) ini mengusung tema “Navigasi Menuju Pariwisata yan Lestari, Berdaya, dan Menguntungkan”. Menteri Pariwisata RI, Widiyanti Putri Wardhana, turut hadir menyampaikan keynote speech pada ajang tahunan ini.
Pada kesempatan tersebut, para pelaku industri dan praktisi pariwisata turut menyuarakan pandangan dan pengalamannya dalam menerapkan pariwisata hijau (green tourism).
Chairman Raja Ampat Dive Resort Association, Daniel Abimanyu. menekankan pentingnya
kolaborasi lintas sektor dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat lokal juga memegang peran penting.
“Banyak resor di Raja Ampat yang membentuk yayasan dan memiliki program pemberdayaan masyarakat lokal, mulai dari pelatihan pembuatan kapal, pengelolaan sampah, hingga konservasi. Beberapa anggota asosiasi juga menginisiasi Dive Guide School,“ bebernya.
Daniel juga menyoroti masalah overtourism yang bisa mengancam kelestarian lingkungan. Menurut dia, masalah overtourism bukan sekadar soal jumlah wisatawan melainkan soal pengelolaan. Dia lantas menyontohkan keberhasilan pengurangan shark finning, yaitu praktik memotong sirip hiu di atas kapal dan membuang sisa tubuh hiu yang masih hidup kembali ke laut, serta pengawasan terhadap jumlah penyelam sebagai langkah nyata pengusaha lokal menjaga ekosistem laut di Raja Ampat, Papua Barat.
“Pengusaha tidak bisa jalan sendiri, perlu dukungan kebijakan dari pemerintah agar praktik berkelanjutan berjalan konsisten,” tegasnya.
Sementara itu, keberlanjutan juga telah menjadi bagian dari identitas bisnis di Potato Head Bali. Beach club jaringan internasional yang berlokasi di Pantai Seminyak, Kuta, itu memiliki laboratorium pengelolaan sampah.
Sustainable Director Potato Head Bali, Amanda Marcella, mengatakan, prinsip "Good Times, Do Good" menjadi inti dari filosofi bisnis dan gaya hidup di Potato Head Bali. Prinsip tersebut bukan sekadar slogan melainkan komitmen untuk menciptakan pengalama yang menyenangkan bagi para tamu sekaligus memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Perpaduan apik antara seni dan desain yang menerapkan konsep berkelanjutan antara lain terlihat dari keberadaan patung setinggi enam meter di area Potato Head yang terbuat dari 888 kg sampah plastic yang dikumpulkan dari seluruh penjuru Pulau Dewata. Amanda menambahkan, sejak 2017 Potato Head telah menerapkan sistem waste management system dan membangun fasilitas pengelolaan sampah sendiri serta menggandeng masyarakat melalui community waste project.
“Kami ingin menunjukkan bahwa bisnis bisa menjadi panutan. Dengan mengolah dan mendaur ulang, kami bisa menekan angka sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir menjadi hanya 0,5 persen,” tuturnya. Potato Head, sambung dia, ingin menginspirasi wisatawan bahwa berwisata dan menikmati hiburan juga bisa dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
“Tamu kami ajak berpartisipasi, misalnya melalui penggunaan tumbler untuk isi ulang minum,” jelas Amanda. Mendorong Perjalanan Bertanggung Jawab Pada kesempatan yang sama, VP Corporate Secretary & Investor Relations Panorama Group, AB Sadewa, menyampaikan, digitalisasi telah mempercepat pergeseran ke arah perjalanan wisata yang lebih bertanggung jawab atau responsible traveling.
Dari 2023 hingga 2025, pihaknya melihat peningkatan permintaan perjalanan bertanggung jawab, baik dari segmen leisure maupun corporate. “Bahkan, perusahaan multinasional kini mulai memasukkan aspek keberlanjutan dalam program insentif mereka. Ke depan, dari 2026 hingga 2030, kami melihat responsible travel akan menjadi standar baru,” ungkap Sadewa.
Investasi keberlanjutan memang masih mahal, tapi nilai jangka panjangnya jelas. Kami bahkan mulai menghitung carbon footprint setiap paket wisata,” bebernya. Lebih lanjut, dia menilai bahwa pariwisata berkelanjutan adalah proses yang “gampang-gampang susah”. “Dibutuhkan komitmen dan pengukuran yang jelas. Banyak pelaku sudah menjalankan prinsip keberlanjutan, tapi belum mendapat insentif apa pun,” tukasnya.
Business Development Manager Control Union Indonesia, Arief Pamungkas, mengatakan, sertifikasi pariwisata berkelanjutan dibuat untuk secara sukarela menilai dan memantau dampak lingkungan serta sosial dari organisasi atau destinasi wisata yang menjalankan kegiatan pariwisata.
Namun, saat ini sertifikasi tersebut di Indonesia saat ini masih bersifat sukarela, belum diwajibkan. “Pelaku usaha yang memiliki inisiatif untuk maju dan mengikuti sertifikasi patut diapresiasi,” ucapnya. Menurut Arief, sertifikasi keberlanjutan membawa manfaat nyata, di antaranya membantu pelaku pariwisata mendapatkan keunggulan kompetitif, dengan menonjol di mata wisatawan yang peduli lingkungan serta memperoleh tempat khusus di platform besar.
“Sertifikasi berkelanjutan membuka akses pasar yang lebih luas. Beberapa Online Travel Agent (OTA) kini memiliki filter khusus untuk properti berkelanjutan,” tuturnya. Kedua, sambung dia, pengelola akomodasi dapat menekan biaya operasional melalui efisiensi energi, pengurangan limbah, serta optimalisasi sumber daya.
Data Global Sustainable Tourism Report 2023 juga menunjukkan bahwa hotel yang menerapkan praktik berkelanjutan mengalami peningkatan pendapatan hingga 12% dibandingkan hotel konvensional. “Akomodasi yang diberi label lebih berkelanjutan ternyata lebih menarik bagi hampir setengah wisatawan, yaitu sekitar 45% dari mereka,” ungkapnya.
Guna menyosialisasikan pentingnya keberlanjutan, dalam tiga tahun terakhir pihaknya aktif bekerja sama dengan asosiasi dan kampus untuk menutup kesenjangan pengetahuan terkait konsep keberlanjutan. “Kami menyelenggarakan workshop, bootcamp, hingga training bagi mahasiswa agar konsep keberlanjutan dipahami sejak dini,” tambah Arief.
Pada akhirnya, masa depan pariwisata Indonesia bergantung pada kemampuan seluruh pihak,mulai dari pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, termasuk juga insan media. Melalui ITO 2026, Forwaparekraf menegaskan bahwa keberlanjutan bukan sekadar wacana, melainkan arah baru bagi industri pariwisata Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tetap menjadi tujuan, tetapi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan.
Acara ini terselenggara atas dukungan Kementerian Pariwisata, Artotel Group, Artotel Harmoni Jakarta, Indofood, Kokola, Tekko, dan InJourney Hospitality. Sinergi lintas sektor inilah yang diharapkan dapat menjadi fondasi bagi ekosistem pariwisata Indonesia yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan ke depan.
